Musafir Cahaya
Karya: Yudhie Guszara
Di tepi jalan itu sepanjang aliran sungai,di sebelah pondok kayu berukuran kecil, beratap daun berlantai papan. Seorang tua renta duduk bersimpuh di sebongkah batu yang permukaanya cukup datar, lalu iabicara kepada segenap rerumputan, pepohonan dan air gemricik yang memercik diseraut wajah. Dua telapak tangan meraup wajah-wajah duka, satu persatu tangan dibasuhnya.tiga sapuan air menyentuh dan membasahi kepala hingga ubun-ubun, telinga dan kaki ikut serta dibasuhnya dengan kejernihan dan kesejukan alam.Tikar anyaman lais dekil pun dihamparkannya di atas perut bumi. Sang Musafir Cahaya , merebahkan sujud menerbangkan doa doa dan tangis itu berhamburan. Sang Musafir begegas tatkala mentari memacarkan cahaya merah saga semerah senyum seorang ayah yang sempat terpendar bersama seorang bocah kecil yang kini entah kemana. Dahulu ia adalah seorang ayah yang baik sekaligus suami yang bertanggung jawab, perhatian dan penuh kasih sayang.
Pagi itu bahkan sangat pagi sekali, embun masih melekat dipucuk-pucuk daun pohon Pelawan dan harum mewangi bunga-bunga pohon seruk, Satu persatu burung pentis hinggap di dahan pohon Pelawan dan mendekati bunga-bunga yang sedang bermekaran paruh yang panjang melengkung menghisap sari-sari bunga Seruk. Sesekali binar jarum mentari menelisik masuk ke lobang-lobang di dinding sebuah kamar yang terbuat dari papan yang bentuknya sudah rapuh dan lapuk. Sinar mentari memancar ke wajah Mamat, seorang anak berusia 13 tahun, ia mengusap matanya mungkin sinar mentari telah membangunkannya dari mimpi yang tidak pernah diinginkannya. “ Mamat …..!!! bangun Maat….!!! “ seru Ibu kepada Mamat yang lebih awal sudah bangun dan menyiapkan sarapan pagi untuk Mamat. “ iya buuuu…, ini sudah bangun” sambil bergegas ke dapur menghampiri Ibu yang sedang mengaduk segelas teh manis dan tiga potong ubi rebus. “ Mat.., sini Nak, cepatlah minum segelah teh manis ini dan ubi rebus, agar kau tak kelaparan nanti saat dalam perjalanan”. Sambil berlalu menuju ke kamar depan untuk membangunkan suaminya.
Pagi itu mereka bertiga duduk bersama di lantai beralas tikar yang terbuat dari anyaman daun lais, menikmati hangatnya teh manis dan sepotong ubi rebus. Entah mengapa Ibu tak seperti biasanya, lebih banyak berdiam diri, sesekali mengusap matanya selepas mencuri pandang ke wajah anaknya semata wayang. Mamat sebenarnya tahu bahwa hari ini adalah hari yang sangat menyesakkan dada, karena ia harus pergi meninggalkan Ibu untuk melanjutkan pendidikan ke Pasantren Daarul Ulum Bantar Kemang. “Bu…, aku mohon doa restu Ibu, hari ini aku akan pergi”, ujar Mamat dengan suara agak berat dan menghampiri ibunya yang dari tadi terdiam lesu, Mamat memeluk ibu sejadi jadinya dan ia tak mampu menahan tangis itu.“ Maat…, sudahlah jangan menangis Naak. Ibu ikhlas dan merestuimu untuk pergi melanjutkan sekolah ke pesantren”.Ucap ibu terbata-bata sesekali mengusap air mata yang begitu terasa menyakitkan.Mamat segera menyalami ibu dan mencium tangan ibu, dan bangun mengambil tas yang sudah disiapkan ibunya, beberapa potong pakaian, kain sarung dan kopiah hitam. Ayah sudah menunggu di depan dengan sepeda kumbang yang sudah renta umurnya karena di telan oleh waktu dan peradaban. Ibu melambaikan tangan tanpa suara tanpa seruan, karena suaranya telah terbanjiri air mata. Mamat berlalu dan duduk di belakang sambil memangku sebuah tas hitam yang sudah mengelupas dan ditambal dengan kain sisa-sisa potongan yang dipungut ibu di tempat tukang jahit. “Buuu…., kami pergi dulu yaaa !!, Assalamualaikum Buu !!” pamit ayah kepada istrinya yang terus diam.
Ayah mulai mengayuhkan kakinya, perlahan sepeda renta itu melaju menuju pelabuhan.Dengan semangat ayah terus mengayuh dan mengayuh, tak ingin tertinggal kapal, “ Anakku…., selama nyatri nanti, belajarlah yang giat, kau lelaki sudahi tangismu itu.” Pesan ayah sambil terus mengayuh, “ iya Ayah…, aku kan giat belajar hingga tuntas”. Ujar Mamat yang berusaha tegar.Satu belokan ke kiri sejurus lurus arah Sungai Siburik, mereka pun memasuki gerbang pelabuhan. Ayah mulai memelankan kayuhannya menuju sebuah kapal bernama KM.Cahaya Samudera, Mamat pun turun menatap wajah ayah dan memeluknya, ayah tak bicara hanya mengusap-usap rambut anaknya. “ pergilah nak, rebut cita-citamu, cukupkan tangismu”. Mamat merebut tangan ayah diciuminya dan ia pun berlalu menaiki anak tangga kapal, sesekali menoleh kea rah ayahnya, diam-diam ayah pun menangis bahkan menangis sejadi-jadinya dibiarkannya bercucuran tanpa diusap. Setelah tiga kali terompet kapal berbunyi, kapal yang ditumpangi Mamat pun melaju perlahan menerpa riak ombak., gemuruh suara angin telah melenyapkan suara isak tangis Sang Ayah.Hari itu sungguh hari yang sangat menyesakkan dada dan menyedihkan, ayah dan ibu harus melepas pergi anak semata wayang yang begitu disayangi.
Selepas pandangan rupa kapal tak lagi Nampak dipandangan sang ayah, ia pun berbalik arah, menuju sepeda yang terparkir sendiri menyepi diantara deru truk-truk pengangkut kaolin dan logistik. Diraihnya sepeda renta dan pergi dengan derai dan luka melaju secepat angina menuju senja arah pulang.Hembusan angina cukup deras menerbangkan helai demi helai rambut ayah yang memanjang sepanjang harapannya terhadap keberhasilan Mamat di perantauan. Setiba di depan rumah, ia duduk di sebuah kursi rotan yang berbentuk bundar, melepas segala lelah, kerinagt dan air mata itu telah bercampur baur. Ia terdiam tatapan mata jauh terbang menerawang, entah apa yang dipikirkannya. Sebatang rokok disulutnya dengan korek api batangan, dihisapnya sedalam-dalamnya daan dihembuskannya hingga menggumpal rasa pedih itu terbuang terbang hingga ke awan nan jauh.
Sang Muasafir Cahaya menapaki arah pulang, empat tahun yang lalu selepas hari terakhir itu, di pelabuhan sejurus lurus arah sungai Siburik, masih lekat dan dekat rasa rindu itu, seseorang lelaki datang menghampirinya, seraya menyapa “ maaf, apakah benar Bapak adalah yang bernama Pak Selamet?”, ia pun terkaget-kaget menjawab “ Iyaa….benar aku adalah Selamet, ada apa gerangan ?” lelaki itu pun menjelaskan dengan agak berhati-hati, karena ia harus menyampaikan pesan duka, “begini Pak, maaf sebelumnya, aku ingin mengabaarkan kepada Pak Selamet, bahwa istri Bapak tadi meninggal dunia, karena kehabisan darah.” Pak Selamet terdiam sesaat tak percaya mendapat kabar tersebut, “ ah…Yang benar tidak mungkin, istriku sehat-sehat saja, Bapak dapat kabar dari mana?”, lelaki penyampai kabar tersebut pun menjelaskan dengan rasa bersalah yang sangat dalam, sambil merebut tangan Pak Selamet memohon maaf atas apa yang telah terjadi, “ begini Pak, tadi pagi istri Bapak pergi ke Pelabuhan, di depan gerbang pelabuhan tiba-tiba istri Bapak menyeberang tanpa menoleh ke kiri dan kanan, saat itu truk yang saya bawa dengan kecepatan agak tinggi, sehingga aku tak sempat mengerem, dan menabrak istri Bapak hingga terlindas ke bagian bawah truk.” Sang Musafir Cahaya bisu matanya berkaca memerah darah, tangannya bergetar , ia tak bicara , ia berlari dan berlari sekencang-kencangnya, ia berteriak terus berteriak sejadi-jadinya bahkan sekeras-keras yang ia bisa, sambil melepas bajunya memutar-mutarkan kebagian atas kepalanya dan melemparnya sejauh-jauhnya. Perlahan ia memperlahankan laju larinya, dan nafas tersenggal kelelahan, degup jantung berloncatan seperti tabuhan beduk dentumannya menjadi-jadi.Ia melangkahkan kaki hingga perlahan-lahan menyeret segala beban yang terbungkus bergumpal-gumpal menjadi satu, diikatkannya dalam satu bungkusan selembar kain dan dipanggulnya dengan sebatang kayu berbahan kayu Simpor Laki.
Sandal jepit yang tak lagi berupa berwarna hitam dekil, terseok-seok ia melangkah menyusuri arah cahaya dengan ribuan tetes air mata, ia terus melangkah entah sampai kapan. Dipenghentian sebelum Adzan Magrib berkumandang, tepat di tepi jalan itu, sepanjang aliran sungai,di sebelah pondok kayu berukuran kecil, beratap daun berlantai papan. Seorang tua renta duduk bersimpuh di sebongkah batu yang permukaanya cukup datar, lalu ia bicara kepada segenap rerumputan, pepohonan dan air gemricik yang memercik diseraut wajah.samping kiri pondok kecil membasuh segala duka dan derita, meluluhkan segala amarah.Sang Musafir Cahaya merendamkan diri di sebuah sungai.
Dua telapak tangan meraup wajah-wajah duka, satu persatu tangan dibasuhnya.tiga sapuan air menyentuh dan membasahi kepala hingga ubun-ubun, telinga dan kaki ikut serta dibasuhnya dengan kejernihan dan kesejukan alam. Tikar anyaman lais dekil pun dihamparkannya di atas perut bumi. Sang Musafir Cahaya , merebahkan sujud menerbangkan doa-doa dan tangis itu berhamburan. Sang Musafir begegas tatkala mentari memacarkan cahaya merah saga semerah senyum seorang ayah dan seorang suami yang sempat terpendar bersama seoranganak dan istri tercinta yang kini telah tiada. Sang Musafir Cahaya bergegas pulang ke arah cahaya …cahaya merah tembaga, ia membuka capingnya, menabur bunga diantara dua batu nisan, lalu menyirami air mata dan doa. Secepat cahaya ia melangkah dan pergi, seketika itu disamping sungai yang memanjang mengaliri air jernih bewarna kilau keperakan, kumelihat ia sedang memeluk sebuah caping dan berjalan tanpa titik bayangan, namun setiap gerak langkahnya bercahaya. Dzikir degup jantung dan kumendengar sangat jelas ia bertasbih disetiap hembusan nafasnya ia merafal syahadat bumi.
Tag:Cerpen, Sastra, Yudhie Guszara